Memasuki dimensi waktu yang disebut tahun, tak terasa sudah berbilang
2012. Bukan saja tubuh ini menua, dunia pun semakin renta. Tak banyak
yang berubah. Keinginan – keinginan terus meraja, menitahkan manusia
laksana budaknya. Bahkan banyak sanubari tak bermahkota lagi. Hanya
berhias rutinitas, berbuih angan kosong dan bergelora ketergesaan
semata. Kemrungsung. Tanpa rasa khusyu di dalamnya. Mata masih suka
gelojotan, memandang yang bukan haknya. Telinga masih keluyuran, nguping
yang tidak semestinya. Mulut masih suka nerocos, ngomongin yang bukan –
bukan. Walau cuma omong kosong. Tangan dan kaki masih sok sibuk kesana -
kemari ngurusin yang gak karuan. Dan tubuh masih suka berhura – hura,
lahan. Maka, di awal tahun ini ingin rasanya berdandan, berbenah diri.
Menata kekhusyu’an agar terpatri di dalam hati.
Jauh sebelumnya, 13 tahun setelah wahyu pertama turun, Allah
mengingatkan dengan sebuah pertanyaan yang menyergap, sebagaimana
tertulis di dalam Surat Al-Hadid ayat 16. Allah berfirman; "Belumkah
tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka
mematuhi peringatan dan pengajaran Allah serta mematuhi kebenaran
(Al-Quran) yang diturunkan (kepada mereka)? Dan hendaklah mereka tidak
menjadi seperti orang- orang yang diberikan al-Kitab sebelum mereka,
setelah berlalu waktu yang panjang lantas membuat hati mereka keras, dan
banyak di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."
Yang menarik kemudian (bagi kita sekarang) adalah pertanyaan
kenapa ayat ini diturunkan padahal saat itu masih turun ayat – ayat
Allah sebagai ilmu dan penguat keimanan? Jawabnya (lagi –lagi menurut
saya) adalah memang ilmu dapat bertambah seiring ayat - ayat yang turun;
satu ayat, dua ayat dan seterusnya, namun satu hal yang lekas hilang
dari orang iman ialah rasa khusyu'nya kepada Allah SWT. Oleh karena itu
di tengah - tengah perjalanan, Allah mengingatkannya agar tidak
kebablasan. Di tengah kemenangan – kemenangan yang dibuka laksana
membuka kran. Di tengah semakin kuat dan kokohnya orang iman. Allah
menskak orang yang mengaku beriman dengan kekhusyu’an ini. Seiring
dengan ayat ini, Qatadah ra meriwayatkan dari Syaddad bin Aus ra dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali
diangkat dari manusia adalah khusyu'." (HR. Thabrani dalam Musnad
as-Syamiyin, 2570 . Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 4
/323).
Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’,
sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’”.
Sahabat
Hudzaifah ra menambahkan : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian
adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah
shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan
hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang
pun yang khusyu’”.
Bahkan kemudian sahabat Abu Darda' ra menjelaskan, "Berlindungah
kalian kepada Allah dari khusyu'nya orang munafiq!". Maka ada orang yang
bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan khusyu'nya orang munafiq?".
Beliau menjawab, "Yaitu kamu melihat tubuh seseorang tampak khusyu'
namun sebenarnya hatinya tidak khusyu'." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya no. 190 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman no 6713).
Berkaca
dari dalil – dalil di atas, saya semakin terpojok. Jangankan khusyu
selayaknya khusyu’nya orang iman, khusyu’ kayak orang munafik saja
tidak. Di banyak tempat, di banyak waktu, saya belum melihat kekhusyu’an
yang nyata pada diri ini. Ini jujur. Kecuali satu, ya satu kesempatan
di banyak waktu, walau memalukan. Yaitu ketika ngantuk dan tertidur saat
pengajian. Badan terlihat tenang, suasana tampak nyaman dan khusyu’
hadir melepas kepenatan. Sayangnya, hati pun terbuai dalam rimba
kekhusyu’an yang tidak pada tempatnya. Ilmu padi, orang bilang.
Sedangkan kalam diangkat karenanya. Lantas dimana kita mencari
kekhusyu’an yang hilang itu?
Betapa bahagianya. Petunjuk itu ada di dalam Surat Al-Mu’minun.
Allah SWT berfirman; “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu,
orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka” (Al Mu’minun : 1-2).
Ayat
ini berkorelasi erat dengan ayat 2 Surah an-Anfal “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang
apabila disebut nama Allah maka gementarlah hati mereka; dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menjadikan mereka bertambah iman,
dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah."
Namun saya lebih memilih ayat yang atas, ketimbang yang bawah.
Menurut hemat saya, ayat 2 surat Al-Mu’minun lebih mencukupi, gampang
dipraktikkan dan multi fungsi dibanding surat al-Anfal ayat 2. Tak lain
karena sholat. Setiap muslim pasti sholat. Minimal 17 kali membaca kalam
Allah dalam sholat wajibnya. Belum sholat sunnahnya. Nama dan ayat –
ayat Allah selalu dibaca dan disebut setiap rekaatnya. Ada jalan,
peluang dan sarana yang tersedia. Jadi mari kita mulai mengembalikan
lagi kekhusyu’an dari sholat ini. Uukhkh,,,!!! Tapi sayang, walau sudah
ketemu cloenya, bukan berarti tanpa kendala. Walau begitu harus dicoba.
Kenapa tidak?
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya seseorang selesai (dari
shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh
shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya”.
Diriwayatkan
oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah ra berkata: “Sesungguhnya ada
dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan
(pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.
Ibnu ‘Abbas ra
mengatakan, khusyu’ dalam sholat adalah merasa tenang dalam sholat dan
merasa takut (kepada Allah) dalam sholatnya tersebut. (Tafsir Ibnu
Katsir, Darut Thayibah, Asy Syamilah).
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menerangkan makna ‘khusyu’ di
dalam sholat’, yaitu seseorang menghadirkan hati di hadapan Allah,
merasakan dekatnya (ilmu dan pengawasan) Allah, yang dengan semua itu
hati bisa merasa tenang, jiwa merasa damai. Hal ini akan terpancar dalam
gerakan tubuh yang tenang, tidak lalai dalam sholat, menghayati setiap
bacaan yang dibaca dalam sholatnya, dari awal takbir hingga akhir
sholat. Semua ini dalam rangka tunduk dan taat kepada Allah. (Lihat
Taisir Karimirrahman, Maktabah Ar Rusyd, hal. 547)
Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi
seorang muslim di dunia ini. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam
penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga
baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan
dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana
harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di
dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena
mengagungkan Allah, mengharapkan pahalaNya.
Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, apabila sedang dalam
keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila
mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya.
Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu ‘anhu, apabila membaca, orang yang
di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya.
Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan
shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia
dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang
ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan
gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan
tetapi aku memikulnya”.
Kita belum sampai di sana. Kita berusaha ke arah sana. Di waktu
yang baru, putaran kehidupan yang baru, ini starting point kita. Semua
bisa dipelajari, ditekuni dan dihayati sesuai kemampuan kita. Kalau tak
bisa, bertanya kepada ahlinya. Tak tahu, berguru. Tak kuat, harus
bersatu. Tak ada kata menyerah. Tak ada putus asa. Yang ada berakit –
rakit ke hulu. Sedikit demi sedikit, lama – lama menjadi bukit.
Kekhusyu’an memang barang langka, di tengah jaman yang berkelindan.
Harus dipilin satu per satu. Helai per helai. Dengan kesadaran penuh.
Dengan kesabaran yang tangguh. Hingga berhasil meraihnya. Di sisi lain,
di samping kanan saya, tatkala sholat berjamaah didirikan, selalu saja
anak lelaki saya berpesan; “Yang cepat pak sholatnya!” Ketika bacaan
agak panjang, selalu dia menyundul – nyundul ketiak saya mengisyaratkan
jangan panjang – panjang. Jika ruku’ dan sujudnya agak lamaan dikit, dia
protes dan berbisik; “Cepetan!” Tak peduli aturan dan syariatnya.
Kadang malah mendahului sujud, sebagai bentuk protesnya. Nah, kita yang
dewasa butuh lebih dari itu semua. Atau masih seperti itu?
Perkara khusyu’ merupakan perkara yang berat, membutuhkan usaha
dan jerih - payah nyata. Setidaknya, seiring usaha meraih kembali hal
itu jangan lupa untuk selalu berdoa dan memperbanyak doa berikut: Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak
khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas (kenyang), dari ilmu
yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak terkabul, dan aku
berlindung kepadaMu dari demikian itu empat hal.” (Hadits riwayat Ahmad,
Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Mari terus mencoba, Kawan!
Oleh : Faizunal Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar