WELCOME


counters

Kamis, 14 November 2013

wajah yang gembira dari jampheso





ada apa sih,di dalam jampheso,kenapa susah banget yang gue rasakan ketika gue mendidik mereka ,banyak banget cobaan ,entah dari orang tua mereka atau pun dari mereka sendir,jujur gue ada perasaan sakit hati diantara mereka guru,yang jelas ama yang cewek,gue tidak bisa memaaf kan dia

Selasa, 29 Oktober 2013

Senin, 21 Oktober 2013

kegiaan caberawit

enknya tu suasana ngumpul dengan temen2,cerita barerng dan makan bareng ,dan kami yakinbanget bahwa suatu hari nanti kami akan berpisah jauh bahkan tidak pernah terulang kembali
lihat saja wajah mereka

Sabtu, 19 Oktober 2013


wajah caberawit yang seperti inilah yang bisa menyejukan hati kita orang tua,dan mereka adalah tongkat estapit kita nantinya,marilah kita beri semangat kepada mereka untuk menjadi mubalegh dan mubalighot...semoga mereka semua bisa jadi mubalig ,mubalighot,,,,


Ungkapan perasaan  hati caberawit ***jampeso ***
Nama gua azizah miftahul jannah ....gua mau ungkapin prasaan gua,,,tpi aq sangat malu ma yang baca ,,,,hehehehe....heeee...lu pade tau gak perasaan gua ktika saya berada di masjid,,,,saya snang banget karna saya mengikuti pengajian ldii dan bisa masuk ke ldii,,,,,<<>>. menurut saya perasaan saya sangat senang bahaguiya bangt..,,..,..<<>>>
***Hai nama gua halwa medikyiur paling imut.....<<>>?***
Gua mau ngungkapin perasaan saya yang tidak bisa gua tahan lagi soalnya perasaan ini telah lama menggigitin hati ku..,,<<<<yaitu maaf sebelmnya ...bagi saya masjid adalla istana ku,,dan tmpat ibadah ku,, dan juga msjid sangat istimewa bagi hati ku,,pokoknya indah dehhhhhhh...>>>dan masjid membuat hati saya tenang ,,,<<.>......../?
HAI,,,,,***nama gua DEVI nur aini pling semsem dehhhh>>>,,,,****
Eneng mau ngungkapin perasaan hati eneng ....untuk masjid,,,eneng ngerasa ada yang beda ketika eneng berada di masjid,,,,eneng ngerasain masjid itu indah seprti surga yang ada di dunia dan juga masjid bagi saya  adallah istana kerajaan yang indah di bandingkan istana yang berada di cerita dongengnya cinderella haaaa pretssss>>>>>,,,,,,
****Hei kawan kawan ...,,,,nama saya SITA ,,...>>***
Matau gak isi yang ada didalm hati gua,,,gua ngerasaiin hati saya rasanya TRECEP_TRECEP,,,,soalnya bagi saya masjid adallah istana yang sangat indah seprti yng ada di surga,, dan sampai sampai akutidak bisa berkata lagi untuk mengungkapkn perasanku untuk masjid<<<...,,..,
Hellooo,,>>****,nama gua tya maharani bukan maha dewi,,,,<<...>>****
Gua mau curcor kepada kalian teman2 menurut gua masjid itu adallah bangunan yang paling megah yang ada di dunia dan bagi saya masjid masjid pabelan itu sangat indah karna ada banyak bunga yang sedang bermekaran....<<<..
Asswbwr....****nama eneng hanifa anisa wildan.....<<<***@
Aku mau keluarin semua isi yang ada dalm hati ku,,,bagi saya masjid memprindah hati saya,,, dan saya jga senang karna ada mas sinan dimasjid pokoknya GAK ADA LOE GAK RAME...DEH,,,,?dan juga banyak temen2 yang laennya hheee wah gawat ni kalaw mas sinan baca pasti GR banget,,,<<>>/?
*****Atas nama penulis texs,,,minta maaf  bila ada penulisan yang agak ditambah2 tapi sumber opini ini adallah dari ungkapan2 caberawit sendiri dan saya atas nama mas sinan MT ,,,,dan pesan dari mas sinan untuk caberawit supaya lebih rajin lagi ngajinya dan selalulah berbuat baek kepada orang tua kita mumpung org tua kita masi ada,,,dan jangan sampai ada penyesalan kita ketika kedua orng tua kita tlh kmbali kehadapan alloh,,,dan juga mumpung mas sinan masi disini silah kan kalian para caberawit mengespresikan exspresi kalian dan karia2 kalian untuk ditampilkan di mading jampeso junior sehingga expresi kalian bisa dilihat oleh baPak dan ibu kalian.....insyaalloh mas sinan akan bantu sakpol kemampuan mas sinan<<<<,,,,,dan juga untuk caberawit tata cara berpakaian di dalam aturan2 agama islam silah kan di kerjakn,,,s0alnya itu harus di biasakn sejak kecil,,,dan kalaw udah biasa insyaalloh akan lebih disayang alloh,teman2,juga kedua orang tua,,,dan juga ngajinya,ngamalnya,belanya,sambungnya,yang paling penting untuk caberawit,kita supaya toat kepada allah,rosul,bpk pengatur kita dan juga toat pada kedua orang tua kita, karna orang tua itu adalah jalannya surga,,,,,
Dan juga mas sinan disini kan hanya sebntar dan suwatu saat juga mas sinan akan meninggal kn kalian,,,jadi monggo kita tertipkan lagi lima bab kita lagi,,kita buat semangat baru,,,,<<>>OKE <<<<,,,,,, oh ya ada yang ketinggalan opini teman kalian<<<<,,,,,****
***Ni dari tmen kalian yang namaya IVAN ,,,,<<<<***kata dia aku ska banget di masjid karna masjid itukn rumahnya allohdan juga bisa untuk mencari ilmu dan untuk beribadah
***Hai temen2 nama abang IZA,,,***aku akan mengeluar kan unek2 ku yang ada di dlm hati ku,,,,>>>tau gak buah nangka kulitya warnanya apa/?..../? hehe gak ada yang tau kan warnaya itu seperti hati ku yang berwarna hijau ringeh ringeh,,,karna aku mempunyai masjid yang brnama nurul huda,,dan bagi ku masjid itu adallah tmpat ibadah umat islam dan juga masjid bagiku adallah tempat untuk bersujud kepada alloh,,,,,/?
***Hai nama krizki,,,,*** bagi ku masjid adallah istana yang indah bagi ku,,,dah menurt ku gitu aja,,,,<<<<<]
****Hai nama saya salsa ,,,****,tapi kenapaya hanya mas sinan yang manggil aku elsa,,, tapi aku lebih seneng di panggil gitu dari pada aku di panggil selasa ma mas sinan,,,rasanya seprti ditusuk jarum pentool bakso,,,<<<<
Poookooknyaaa,,,,,I LOVE U jampesho JUNIOR,,,,>><<>><?
MAS AINUN,,,,,,>>>>?
                           

Senin, 14 Oktober 2013

ibu ,,,

karya :  salasa
untuk ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkan aku ke dunia,
bila aku membuat kesalahan kau selalu menasehati aku ,kau selalu enungguku dengan kekawatiran mu
IBU
maafkan aku telah membuat kesalahan dan mengecewa kan mu,,,
untuk ibu yang telah mendoakan k, pagi sampai malam
TERIMA KASI IBU
I LOVE IBU

Jumat, 04 Oktober 2013

Sholat Witir

Apalagi yang bisa mendorong diri ini untuk witir? Dalil sudah. Contoh ada. Kenapa masih saja mengentengkan witir ini? Witir? Sunnah kan? Kadang bolak-balik hati ini susah dimengerti.
Gara-garanya cuma ditanya; “Piye mas witirmu?” Bukannya menjawab, tetapi malah nyingkur. Akibatnya sampai sekarang masih terus berbekas. Rasa malu itu terus menggejolak. Hati gemuruh berontak. Mendorong diri ini terus maju menggapai jawaban pertanyaan itu. Padahal mungkin si penanya hanya bergurau saja. Ya, itulah jalan pencerahan. Setelah sekian cara mencari momentum, tak disangka datang dengan amat sederhana. Jadilah peristiwa itu menjadi titik balik untuk melaksanakan shalat witir berkelanjutan. Apalagi setelah mengulas kembali dalil di bawah ini.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab: ‘Aku shalat Witir sebelum tidur.’ Beliau lalu bertanya pada ‘Umar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab, ‘Aku tidur kemudian shalat Witir.’” Dia (Abu Qatadah) berkata, “Beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan hati-hati.’ Dan berkata kepada ‘Umar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan kekuatan.’ (Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 988)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/145 no. 1084), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/311 no. 1421), Sunan Ibni Majah (I/379 no. 1202).

Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Shalat Witir adalah haq (benar adanya), maka barangsiapa yang mau, maka berwitirlah lima raka'at, barangsiapa yang mau, berwitirlah tiga raka'at dan barangsiapa yang mau, berwitirlah satu raka'at." (HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Kamil Witr, hadits no. 1421)


Dari Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat 'Isya' hingga shalat Shubuh.'" [HR. Ahmad].

Sebenarnya tak ada apa – apa, saya hanya penasaran, kenapa sih tidak bisa melakukan sholat witir? Kenapa hanya di bulan puasa saja tertib witirnya? Di bulan yang lain kok tidak tertib? Dan saya sudah berusaha untuk bisa menjalankan salah satu sunnah tersebut. Hasilnya masih juga bolong – bolong. Berbagai kiat dan giat sudah dilakukan, akhirnya saya menjatuhkan pilihan melakukan sholat witir sebelum tidur. Itu yang saya mampu. Itu yang saya bisa.

Mungkin kadang terlihat aneh, sore – sore kok witir. Habis mau bangun malam kadang kebablasan. Sejujurnya bukan kadang – tetapi banyak bablasnya - ketimbang bangunnya sehingga gak witir. Niat sih ada terus, tapi apakah hidup ini cukup dengan niat saja? He, he, he,,,,gubrakkkk,,,Innamal a’malu binniyyat.

Dulu Pak ustad di kampung saya memberikan wejangan - tip yang sederhana dan ciamik. Dia bilang, “Untuk melatih sholat witir, tambahkanlah sehabis sholat sunnah ba’da isya 1 rekaat saja.” Maka dulu kami pun ramai – ramai mengerjakannya sehabis sholat sunah ba’da isya. Sekian waktu berlalu dan semakin meluntur kegiatan itu, saya terpacu lagi untuk memulainya - sebagai bagian taqorrub ilallah dari hamba yang lemah ini. Semoga tidak terlambat, seperti kisah Abu bakar dan Umar di atas.

Ya, ini memang sunah bukan wajib. Bahkan mungkin ada yang mencibirnya. Namun bagi saya adalah sebuah jalan besar menuju kecintaan kepada Allah. Di samping jalan lain yang mungkin orang tempuh. Sebab banyak jalan menuju keridhoan Allah, bukan hanya ke Roma saja.

Nah, bagi yang mau menempuh jalan sholat witir untuk mempertinggi derajat amalannya berikut beberapa dalil tentangnya.

Dari Ali ra., ia berkata, ‘Witir bukan keharusan seperti sholat wajib kalian, akan tetapi Rasulullah SAW biasa melakukannya, dan Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah witir, mencintai witir, maka lakukanlah sholat witir wahai ahli qur’an.” (Rowahu Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah)

Dari Jabir ra., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa khawatir tidak bangun di akhir malam, maka hendaknya dia berwitir di awalnya, dan barangsiapa yakin akan bangun di akhir malam, maka hendaknya dia berwitir di akhirnya, karena sholat diakhir malam disaksikan dan dihadiri (oleh malaikat) dan itu lebih utama.” (Rowahu Muslim).

Dari Jabir ra., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai ahli qur’an, berwitirlah kalian karena Allah adalah witir dan menyukai witir.” (Rowahu Abu Dawud).

Dari Abu Tamim al-Jaisyani, dia berkata, aku mendengar Amru bin al-Ash berkata, seorang lelaki memberitahukan kepadaku bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menambahkan satu sholat kepada kalian, maka tegakkanlah ia diantara isya dan shubuh, yaitu sholat witir”. (Rowahu Ahmad)

Dari Abu Huroiroh r.a, dia berkata, ”Kekasihku SAW mewasiatkan kepadaku tiga perkara, agar aku berpuasa tiga hari setiap bulan, melaksanakan sholat dhuha 2 rekaat dan melaksanakan sholat witir sebelum tidur.”[Rowahu Al-Bukhory (Kitaabu al-Jumu’ati), Muslim ( Kitaabu Sholaati al-Mufaasiriina wa qoshrohaa), Abu Dawud (Kitaabu As-Sholaah), at-Tirmidzi (Kitaabu as-Shoumi) dan an-Nasa’i (Kitaabu as-Shiyaami)].

Jadi, sekarang bukan hanya salam saja yang dijangkepi witir. Sholat sunnah pun rasanya perlu juga diperjuangkan. Mari, kerjakan witir. (pf)

Sabtu, 21 September 2013

KHUSYU'

Memasuki dimensi waktu yang disebut tahun, tak terasa sudah berbilang 2012. Bukan saja tubuh ini menua, dunia pun semakin renta. Tak banyak yang berubah. Keinginan – keinginan terus meraja, menitahkan manusia laksana budaknya. Bahkan banyak sanubari tak bermahkota lagi. Hanya berhias rutinitas, berbuih angan kosong dan bergelora ketergesaan semata. Kemrungsung. Tanpa rasa khusyu di dalamnya. Mata masih suka gelojotan, memandang yang bukan haknya. Telinga masih keluyuran, nguping yang tidak semestinya. Mulut masih suka nerocos, ngomongin yang bukan – bukan. Walau cuma omong kosong. Tangan dan kaki masih sok sibuk kesana - kemari ngurusin yang gak karuan.  Dan tubuh masih suka berhura – hura, lahan. Maka, di awal tahun ini ingin rasanya berdandan, berbenah diri. Menata kekhusyu’an agar terpatri di dalam hati.
Jauh sebelumnya, 13 tahun setelah wahyu pertama turun, Allah mengingatkan dengan sebuah pertanyaan yang menyergap, sebagaimana tertulis di dalam Surat Al-Hadid ayat 16. Allah berfirman; "Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka mematuhi peringatan dan pengajaran Allah serta mematuhi kebenaran (Al-Quran) yang diturunkan (kepada mereka)? Dan hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang- orang yang diberikan al-Kitab sebelum mereka, setelah berlalu waktu yang panjang lantas membuat hati mereka keras, dan banyak di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."

Yang menarik kemudian (bagi kita sekarang) adalah pertanyaan kenapa ayat ini diturunkan padahal saat itu masih turun ayat – ayat Allah sebagai ilmu dan penguat keimanan? Jawabnya (lagi –lagi menurut saya) adalah memang ilmu dapat bertambah seiring ayat - ayat yang turun; satu ayat, dua ayat dan seterusnya, namun satu hal yang lekas hilang dari orang iman ialah rasa khusyu'nya kepada Allah SWT. Oleh karena itu di tengah - tengah perjalanan, Allah mengingatkannya agar tidak kebablasan. Di tengah kemenangan – kemenangan yang dibuka laksana membuka kran. Di tengah semakin kuat dan kokohnya orang iman. Allah menskak orang yang mengaku beriman dengan kekhusyu’an ini. Seiring dengan ayat ini, Qatadah ra meriwayatkan dari Syaddad bin Aus ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali diangkat dari manusia adalah khusyu'." (HR. Thabrani dalam Musnad as-Syamiyin, 2570 . Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 4 /323).

Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’, sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’”.
Sahabat Hudzaifah ra menambahkan : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang pun yang khusyu’”.

Bahkan kemudian sahabat Abu Darda' ra menjelaskan, "Berlindungah kalian kepada Allah dari khusyu'nya orang munafiq!". Maka ada orang yang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan khusyu'nya orang munafiq?". Beliau menjawab, "Yaitu kamu melihat tubuh seseorang tampak khusyu' namun sebenarnya hatinya tidak khusyu'." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya no. 190 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman no 6713).
Berkaca dari dalil – dalil di atas, saya semakin terpojok. Jangankan khusyu selayaknya khusyu’nya orang iman, khusyu’ kayak orang munafik saja tidak. Di banyak tempat, di banyak waktu, saya belum melihat kekhusyu’an yang nyata pada diri ini. Ini jujur. Kecuali satu, ya satu kesempatan di banyak waktu, walau memalukan. Yaitu ketika ngantuk dan tertidur saat pengajian. Badan terlihat tenang, suasana tampak nyaman dan khusyu’ hadir  melepas kepenatan. Sayangnya, hati pun terbuai dalam rimba kekhusyu’an yang tidak pada tempatnya. Ilmu padi, orang bilang. Sedangkan kalam diangkat karenanya. Lantas dimana kita mencari kekhusyu’an yang hilang itu?

Betapa bahagianya. Petunjuk itu ada di dalam Surat Al-Mu’minun.  Allah SWT berfirman; “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu, orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka” (Al Mu’minun : 1-2).
Ayat ini  berkorelasi erat dengan ayat 2 Surah an-Anfal “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah maka gementarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah."

Namun saya lebih memilih ayat yang atas, ketimbang yang bawah. Menurut hemat saya, ayat 2 surat Al-Mu’minun lebih mencukupi, gampang dipraktikkan dan multi fungsi dibanding surat al-Anfal ayat 2. Tak lain karena sholat. Setiap muslim pasti sholat. Minimal 17 kali membaca kalam Allah dalam sholat wajibnya. Belum sholat sunnahnya. Nama dan ayat – ayat Allah selalu dibaca dan disebut setiap rekaatnya. Ada jalan, peluang dan sarana yang tersedia.  Jadi mari kita mulai mengembalikan lagi kekhusyu’an dari sholat ini. Uukhkh,,,!!! Tapi sayang, walau sudah ketemu cloenya, bukan berarti tanpa kendala. Walau begitu harus dicoba. Kenapa tidak?

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya seseorang selesai (dari shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah ra berkata: “Sesungguhnya ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan (pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, khusyu’ dalam sholat adalah merasa tenang dalam sholat dan merasa takut (kepada Allah) dalam sholatnya tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayibah, Asy Syamilah).

Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menerangkan makna ‘khusyu’ di dalam sholat’, yaitu seseorang menghadirkan hati di hadapan Allah, merasakan dekatnya (ilmu dan pengawasan) Allah, yang dengan semua itu hati bisa merasa tenang, jiwa merasa damai. Hal ini akan terpancar dalam gerakan tubuh yang tenang, tidak lalai dalam sholat, menghayati setiap bacaan yang dibaca dalam sholatnya, dari awal takbir hingga akhir sholat. Semua ini dalam rangka tunduk dan taat kepada Allah. (Lihat Taisir Karimirrahman, Maktabah Ar Rusyd, hal. 547)

Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia ini. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah, mengharapkan pahalaNya.

Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu ‘anhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.

Kita belum sampai di sana. Kita berusaha ke arah sana. Di waktu yang baru, putaran kehidupan yang baru, ini starting point kita. Semua bisa dipelajari, ditekuni dan dihayati sesuai kemampuan kita. Kalau tak bisa, bertanya kepada ahlinya. Tak tahu, berguru. Tak kuat, harus bersatu. Tak ada kata menyerah. Tak ada putus asa. Yang ada berakit – rakit ke hulu. Sedikit demi sedikit, lama – lama menjadi bukit. Kekhusyu’an memang barang langka, di tengah jaman yang berkelindan. Harus dipilin satu per satu. Helai per helai. Dengan kesadaran penuh. Dengan kesabaran yang tangguh. Hingga berhasil meraihnya. Di sisi lain, di samping kanan saya, tatkala sholat berjamaah didirikan, selalu saja anak lelaki saya berpesan; “Yang cepat pak sholatnya!” Ketika bacaan agak panjang, selalu dia menyundul – nyundul ketiak saya mengisyaratkan jangan panjang – panjang. Jika ruku’ dan sujudnya agak lamaan dikit, dia protes dan berbisik; “Cepetan!” Tak peduli aturan dan syariatnya. Kadang malah mendahului sujud, sebagai bentuk protesnya. Nah, kita yang dewasa butuh lebih dari itu semua. Atau masih seperti itu?

Perkara khusyu’ merupakan perkara yang berat, membutuhkan usaha dan jerih - payah nyata. Setidaknya, seiring usaha meraih kembali hal itu jangan lupa untuk selalu berdoa dan memperbanyak doa berikut: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas (kenyang), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak terkabul, dan aku berlindung kepadaMu dari demikian itu empat hal.” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Mari terus mencoba, Kawan!
Oleh : Faizunal Abdillah

KELUARGA BAHAGIA seri 34

Pernah mendengar kisah yang satu ini? Ya, cerita Nashrudin Khoja selalu menarik dan mengundang tawa. Walau begitu, penuh pelajaran di sana – sini bagi penikmatnya. Karenanya saya suka dibuatnya. Dan kali ini ijinkan saya mengutipkannya untuk Anda semua.

Suatu hari ia mengeluh pada istrinya: ''Dulu, waktu baru nikah, setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.''

Mendengar kegusaran suaminya, istrinya tak kalah tangkas menangkis: ''Jangan mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap mendapatkan pelayanan yang sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang menggonggong.'' Gubrak..!!!

Menyelaraskan keinginan memang tak mudah. Allah berfirman, “(Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisaa : 19). Ada unsur waktu, kesabaran, pengertian dan ada rasa ewuh – pakewuh/sungkan. Tapi, begitu watak asli terkuak --seiring dengan rasa bosan yang muncul-- kecerewetan, ketidaksabaran, dan ketidakbersahajaannya pun mencuat. Begitulah manusia. Cenderung menyukai mengenakan topeng, khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokok. Beruntung bagi yang melandasi setiap amalannya dengan niat yang benar. Lillahi ta’ala orang bilang. Ikhlas. Seiring sabda Rasulullah SAW; “Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Termasuk dalam berumah tangga, mendasarinya berdasarkan agama. Bukan lainnya.

Mungkin, topeng itu pula yang membuat kita sering terkecoh. Kita suka melihat yang tampak, bukan bagian yang ''dalam''. Yang tidak tampak. Kita cenderung mencuatkan ego. Akibatnya, seperti dikisahkah Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, pengajar di beberapa perguruan tinggi, ada perkawinan yang hanya berumur tujuh hari. Ceritanya, sepasang kekasih telah melakukan pendekatan selama tiga tahun. Si wanita 33 tahun, dan prianya 37 tahun. Cukup matang untuk berumah tangga. Apalagi keduanya sarjana. ''Ternyata, rumah tangga mereka cerai gara-gara soal lampu,'' kata Amin. Si wanita, yang selama 33 tahun selalu tidur dalam keadaan terang, menghendaki kamarnya diterangi. Sebaliknya, suaminya bersikukuh harus gelap. Maklum, 37 tahun dia selalu tidur dalam gelap. Kompromi tak bisa dicapai. Mereka pun cerai. ''Padahal, memasang lampu lima watt yang remang-remang kan bisa,'' ujar Amin.

Begitulah jika manusia menekankan keinginan sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Hatinya kopong. Kesetiaan, penghormatan, perhatian, kepedulian, keadilan, kejujuran, semua ditentukan melalui kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan sulit menyatakan terima kasih, apalagi berbagi kasih. Masalah rumah tangga memang tak pernah habis dikupas, baik di media cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. ''Dari soal pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istri,'' ujar seorang penasehat spiritual di Jakarta.

Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus karier istri yang menanjak, kehidupan perkawinannya malah mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunyai keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor. ''Apa yang harus aku lakukan,'' ungkap pria ini. Penasehat spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib salat tahajud. ''Coba lebih mendekat pada Tuhan, insya Allah masalahnya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah,'' ia menyarankan.

Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. ''Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran?'' katanya. Istrinya tak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya.

Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depannya tak disentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima ''pengakuan dosa'' itu.

Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam, istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal --pertanda baru saja dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, antara lain, yang melahirkan kebohongan demi kebohongan.

Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau, bahkan, lebih pahit dari itu. Hati pria ini seakan menuntut: ''Kalau saja aku tak menuruti nasihatmu, tentu masalahnya tak sepahit ini.''

Si penasehat yang dituding ''ikut menjebloskan dalam duka'' meng-kick balik: ''Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?'' Buat orang awam, restoran dan rumah sekadar tempat. Tidak lebih. Tapi, di mata si penasehat, tempat membawa ''takdir'' tersendiri. Sesuai arahan Kanjeng Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan sesuatunya tetap di rumah.

Dari Amir bin al-Ahwash al-Jusyami ra., bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu haji wada’ setelah memuji dan menyanjung Allah, mengingatkan dan menasehati, “Ketahuilah, saling menasihatilah kalian kepada para wanita dalam kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan – tawanan (tanggungan) di sisi kalian, kalian sama sekali tidak memiliki apapun dari mereka selain itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka jika mereka melakukan itu, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Lalu jika mereka taat kepada kalian, maka jangan kalian mencari – cari jalan untuk menyusahkan mereka. Ketahuilah bahwa kalian memiliki hak atas istri kalian, dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah agar mereka tidak menginjakkan siapapun yang kalian tidak suka ke tempat tidur kalian, dan tidak memberikan ijin masuk ke rumah kalian siapapun orang yang tidak kalian suka. Dan ketahuilah hak mereka atas kalian adalah kalian bersikap dan berlaku baik terhadap mereka di dalam memberikan sandang dan pangan.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shohih)

Dari Muawiyah bin Haidah, ia menuturkan, saya pernah berkata, ‘Ya Rasulullah apa hak istri terhadap suaminya?’ Beliau SAW menjawab, “Engkau memberinya makan ketika engkau makan, engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, jangan kamu memukul wajahnya, jangan pula menjelek – jelekannya, dan jangan kamu mendiamkannya (hajr) kecuali tetap di rumah.” (Rowahu Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Dan, itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan sejarah tersendiri. Maka, jalan terbaik menyikapinya adalah, seperti dikatakan orang bijak, ''Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.''

Kayu telah menjadi arang. Kita tak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi, bisa jadi, merupakan bagian dari perilaku kita jua. ''Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus menyelesaikannya,'' kata orang bijak.

Pahit-getir, manis-asam, asin-hambar, itu sebuah risiko. Memang, kiat hidup itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan!

Oleh : Faizunal Abdillah

BERSYUKUR

Tak ada yang lebih indah daripada kehidupan yang penuh dengan kesyukuran. Rasanya semua orang menginginkannya. Berbagai usaha pun dilakukan, mulai dari yang kecil berupa membina hati, kemudian hal yang gampang dan ringan dengan ucapan atau yang berat dan besar dengan tindakan – tindakan nyata. Sayangnya, tak banyak orang yang pada akhirnya dapat merasakan predikat indah itu. Kesyukuran timbul tenggelam di dalam samudera kehidupan ini. Silih berganti. Sebab jumlah nikmat yang tak terhitung dan sifat lupa dan lalai manusia akan nikmat itu sendiri. Alhasil, hidup berlimpah dengan rasa syukur menjadi barang yang sulit ditemukan. Tak jarang, malah terlupakan.
Hal ini diperkuat dengan garis Allah di dalam Kitabnya, dimana Allah menyebutkan bahwa kategori orang yang bisa bersyukur itu sedikit. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (QS Saba’:13) Konsekuensi dari hukum ini diantaranya adalah susahnya mencari keteladanan dalam bersyukur. Di Quran misalnya hanya beberapa hamba yang tertulis sebagai ahli syukur, Nabi Nuh misalnya seperti yang tertulis di dalam surat al-Israa ayat 3, innahu kaana ‘abdan syakuuron - sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.

Kemudian Nabi Daud dan keluarganya, yang disebutkan di dalam surat Saba ayat 13, i’maluu aalaa daawuuda syukron - bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Berkenaan dengan masalah syukur ini Nabi Dawud pernah bertanya kepada Allah. “Bagaimana aku mampu bersyukur kepadaMu ya Allah, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah pun menjawab, “Sekarang engkau telah bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal dari-Ku”.

Berkaitan dengan masalah ini Rasulullah SAW pun menegaskan dengan sabdanya; “Shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.(Rowahu al-Bukhari, Muslim)

Juga Rasulullah SAW menjelaskan dengan sabdanya; “Tidaklah seseorang itu makan makanan yang lebih baik kecuali dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya Nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Rowahu al-Bukhari)

Di dalam jalur riwayat lain, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Tsabit Al-Bunani bahwa Nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada sedikit waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang menjalankan shalat.

Tampilnya keluarga Nabi Dawud sebagai teladan dalam bersyukur memang tepat dan contoh yang diberikan juga gamblang. Bersyukur tidak hanya dengan hati, perkataan dan tindakan sebagaimana yang dicontohkan Keluarga Nabi Daud. Lebih dari itu bersyukur adalah dalam rangka mencari kecintaan - keridhoan dari Allah.

Demikian juga apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam masalah ini. Ketika turun Surat Fath ayat 1 yang menetapkan pengampunan kepada Rasulullah SAW atas dosa yang terdahulu dan yang akan datang, kesungguhan Rasulullah SAW dalam bersyukur semakin menjadi. Shalat malamnya membuat kedua kaki beliau bengkak – bengkak, sehingga Aisyah pun berkata, “Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu baik yang awal maupun yang akhir?” Rasulullah menjawab, “Afalam akuunu abdan syakuron - Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur”. (Rowahu Al-Bukhari).

Dari tiga teladan di atas, kita perlu menelusuri lebih lanjut jalan menjadi ahli bersyukur. Walaupun tertulis sedikit kita berharap dan berusaha menjadi bagian yang sedikit itu.  Sebagai inspirasi cerita berikut layak dicermati. Suatu saat Umar bin Khaththab pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.”

Ada hal – hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan benih – benih kesyukuran agar terpatri di dalam hati. Yang pertama adalah benih hati “tidak merasa memiliki, tidak merasa dimiliki kecuali yakin segalanya milik Allah SWT.” Allah berfirman; “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS al Baqoroh 155 – 156).

Sebab makin kita merasa memiliki sesuatu akan semakin takut kehilangan. Dan takut kehilangan adalah suatu bentuk kesengsaraan. Tapi kalau kita yakin semuanya milik Allah, maka ketika diambil oleh Allah tidak layak kita merasa kehilangan. Karena kita hanya tertitipi. Dalam kondisi seperti ini layak direnungi kaidah tukang parkir. Setiap hari di area parkir berjajar mobil mewah dari Mercy, BMW, Toyota, Mazda dan mobil bagus lainnya. Walau dari pagi sampai petang mobil – mobil itu di bawah tanggung jawab si tukang parkir, tetapi apakah dia bisa marah, sedih, ketika mobil – mobil tersebut diambil pemiliknya kala sore hari? Tentu tidak. Bahkan dramawan WS Rendra menulis dengan apik, hakikat harta sebagai titipan seperti dalam puisinya Makna Sebuah Titipan.

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Rahasia benih kedua menjadi ahli syukur adalah “selalu memuji Allah dalam segala kondisi. " Kenapa? Allah berfirman; “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS An-nahl 18). Karena kalau dibandingkan antara nikmat dengan musibah tidak akan ada apa-apanya. Musibah yang datang tidak sebanding dengan samudera nikmat yang tiada bertepi.

Ini seperti cerita seorang petani miskin yang kehilangan kuda satu-satunya. Orang-orang di desanya amat prihatin terhadap kejadian itu, namun ia hanya istirja dan mengatakan, alhamdulillah, cuma kuda yang hilang. Bukan lainnya. Seminggu kemudian kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar. Petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun ia hanya berkata, alhamdulillah.

Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin, tapi sang petani hanya mengatakan, alhamdulillah cuma patah kakinya. Ternyata seminggu kemudian tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat, alhamdulillah. Allah telah mengatur segalanya.

Apa yang harus membuat kita menderita? Adalah menderita karena kita tamak kepada yang belum ada dan tidak mensyukuri apa yang ada sekarang.

Benih ketiga untuk menjadi ahli syukur adalah “manfaatkan nikmat yang ada  untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kalian kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.”  (QS Al-Baqoroh 172)

Alkisah ada tiga pengendara kuda masuk ke dalam hutan belantara, kemudian dia tertidur. Saat terjaga dilihat kudanya telah hilang beserta semua perbekalannya.  Betapa kagetnya mereka, karena alamat tidak bisa meneruskan perjalanan. Pada saat yang sama dalam keadaan kaget tersebut, ternyata seorang raja yang bijaksana melihatnya dan mengirimkan kuda yang baru lengkap dengan perbekalan untuk perjalanan mereka.  Ketika dikirimkan reaksi ketiga pengendara yang hilang kudanya itu berbeda-beda.

Pengendara pertama si-A kaget dan berkomentar; "Wah ini kuda yang hebat sekali, bagus ototnya, lengkap perbekalannya dan banyak pula!” Dia sibuk dengan kuda dan perbekalannya tanpa bertanya kuda siapakah ini? Pengendara kedua Si-B, gembira dengan kuda yang ada dan berkomentar; "Wah ini kuda yang hebat, dan saya benar – benar membutuhkannya. Terima kasih, terima kasih.” Begitulah si-B bersyukur dan berterima kasih kepada yang memberi. Sikap pengendara ke tiga, si-C beda lagi. Ia berkata; "Lho ini bukan kuda saya, ini kuda milik siapa?” Yang ditanya menjawab; " Ini kuda milik raja."
Si-C bertanya kembali; "Kenapa raja memberikan kuda ini ?” Dijawab; "Sebab raja mengirim kuda agar engkau mudah bertemu dengan sang raja". Dengan bersuka cita si-C menjawab; “Terima kasih atas semuanya, sehingga saya bisa sampai ke sang raja.”
Dia gembira bukan karena bagusnya kuda, dia gembira karena kuda dapat memudahkan dia dekat dengan sang raja.

Begitulah, si-A adalah gambaran manusia yang kalau mendapatkan mobil, motor, rumah, dan  kedudukan sibuk dengan semua itu, tanpa sadar bahwa itu semua adalah titipan. Yang B mungkin adalah model orang kebanyakan yang ketika senang mengucap Alhamdulillah.  Tetapi ahli syukur yang asli adalah yang ketiga yang kalau punya sesuatu dia berpikir bahwa inilah kendaraan yang dapat menjadi pendekat kepada Allah SWT. Ketika mempunyai uang dia mengucap alhamdulillah, uang inilah pendekat saya kepada Allah. Ia tidak berat untuk membayar zakat, dia ringan untuk bersadaqah, karena itulah jalan mendekatkan diri kepadaNya.

Benih syukur yang keempat adalah “berterima kasih kepada yang telah menjadi jalan perantara nikmat.” Seorang anak disebut ahli syukur kalau dia tahu balas budi kepada ibu dan bapaknya. Benar orang tua kita tidak seideal yang kita harapkan, tetapi masalah kita bukan bagaimana sikap orang tua kepada kita, tetapi sikap kita kepada orang tua. Sama halnya dengan nikmat lainnya, kadang datangnya melalui perantara, maka yang terpenting adalah bagaimana kita bisa bersikap yang baik kepadanya.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a. dia berkata, “Rasululloh SAW bersabda; ’Barangsiapa diberi suatu kebaikan, lalu dia berkata kepada pemberinya – Jazaakallohu khairo/Semoga Allah membalas kebaikan (yang lebih baik) kepadamu – maka dia telah sampai (sempurna) di dalam memuji.”(Rowahu at-Tirmidzi, dia berkata hadist hasan ghorib)

Dari al-Asy’ats bin Qois r.a. dia berkata, “Rasululoh SAW bersabda tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (Rowahu Ahmad)

Dari Abu Huroiroh r.a, dari Nabi SAW beliau bersabda,”Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (Rowahu Abu Dawud dan at- Tirmidzi dia berkata hadist shohih)
Sebagai pelengkap benih – benih di atas, tentunya adalah memperbanyak doa untuk menyirami benih – benih itu. Berdoa untuk menjadi hamba yang penuh kesyukuran, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Muadz bin Jabal.  Hadist itu diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud (Kitabu Sholah) dan Sunan Nasa’i (Kitabu as-Sahwi), juga terdapat dalam Musnad Ahmad, yang dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dari Muadz bin Jabal r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW memegang tangannya Muadz dan berkata; ”Ya Muadz, Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu, Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.” Seterusnya Beliau berkata, ”Aku wasiat kepadamu hai Muadz, jangan meninggalkan sungguh engkau di dalam setiap habis sholat untuk berdoa - Allohumma a’innaa ’alaa dzikrika, wasyukrika wahusni ’ibadatik - Ya Allah tolonglah kami untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu dan beribadah kepadaMu dengan baik”.
Setelah menjadi orang iman, tantangan berikutnya yang menghadang adalah berpacu untuk menjadi orang yang berkelimpahan kesyukuran. Walaupun kesempatannya kecil, kita masih punya peluang meraihnya bukan? Nah, sebagai parameter penutup bisa dirujuk cerita tentang seorang pengembala yang ditanya oleh tuannya. “Bagaimana cuaca hari ini?” “Hari ini cuacanya sangat menyenangkan”, jawabnya. ‘Apakah kamu tidak melihat bahwa dari pagi mendung dan tak tampak matahari?” “Betul tuan, tetapi kehidupan ini telah mengajarkan kepada saya bahwa banyak keinginan yang tidak saya dapatkan, oleh karena itu saya mulai mensyukuri apa saja yang saya dapatkan.”

Lalu, dimanakah kita sekarang?

Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah