Pernah mendengar kisah yang satu ini? Ya, cerita Nashrudin Khoja selalu
menarik dan mengundang tawa. Walau begitu, penuh pelajaran di sana –
sini bagi penikmatnya. Karenanya saya suka dibuatnya. Dan kali ini
ijinkan saya mengutipkannya untuk Anda semua.
Suatu hari ia mengeluh pada istrinya: ''Dulu, waktu baru nikah,
setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya, dan
anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita yang
membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.''
Mendengar
kegusaran suaminya, istrinya tak kalah tangkas menangkis: ''Jangan
mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap mendapatkan pelayanan yang
sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang menggonggong.''
Gubrak..!!!
Menyelaraskan keinginan memang tak mudah. Allah
berfirman, “(Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS
An-Nisaa : 19). Ada unsur waktu, kesabaran, pengertian dan ada rasa ewuh
– pakewuh/sungkan. Tapi, begitu watak asli terkuak --seiring dengan
rasa bosan yang muncul-- kecerewetan, ketidaksabaran, dan
ketidakbersahajaannya pun mencuat. Begitulah manusia. Cenderung menyukai
mengenakan topeng, khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokok.
Beruntung bagi yang melandasi setiap amalannya dengan niat yang benar.
Lillahi ta’ala orang bilang. Ikhlas. Seiring sabda Rasulullah SAW;
“Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya),
bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya
yang lain.” (HR. Muslim) Termasuk dalam berumah tangga, mendasarinya
berdasarkan agama. Bukan lainnya.
Mungkin, topeng itu pula yang
membuat kita sering terkecoh. Kita suka melihat yang tampak, bukan
bagian yang ''dalam''. Yang tidak tampak. Kita cenderung mencuatkan ego.
Akibatnya, seperti dikisahkah Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, pengajar di
beberapa perguruan tinggi, ada perkawinan yang hanya berumur tujuh
hari. Ceritanya, sepasang kekasih telah melakukan pendekatan selama tiga
tahun. Si wanita 33 tahun, dan prianya 37 tahun. Cukup matang untuk
berumah tangga. Apalagi keduanya sarjana. ''Ternyata, rumah tangga
mereka cerai gara-gara soal lampu,'' kata Amin. Si wanita, yang selama
33 tahun selalu tidur dalam keadaan terang, menghendaki kamarnya
diterangi. Sebaliknya, suaminya bersikukuh harus gelap. Maklum, 37 tahun
dia selalu tidur dalam gelap. Kompromi tak bisa dicapai. Mereka pun
cerai. ''Padahal, memasang lampu lima watt yang remang-remang kan
bisa,'' ujar Amin.
Begitulah jika manusia menekankan keinginan
sendiri tanpa menimbang perasaan orang lain. Hatinya kopong. Kesetiaan,
penghormatan, perhatian, kepedulian, keadilan, kejujuran, semua
ditentukan melalui kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan
sulit menyatakan terima kasih, apalagi berbagi kasih. Masalah rumah
tangga memang tak pernah habis dikupas, baik di media cetak, radio,
layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. ''Dari soal pelecehan
seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi
kebutuhan biologis istri,'' ujar seorang penasehat spiritual di Jakarta.
Kebetulan,
teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan
usia, plus karier istri yang menanjak, kehidupan perkawinannya malah
mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan
keceriaan yang dulu dipunyai keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah
disibukkan urusan kantor. ''Apa yang harus aku lakukan,'' ungkap pria
ini. Penasehat spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari,
dan tiap malam wajib salat tahajud. ''Coba lebih mendekat pada Tuhan,
insya Allah masalahnya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di
rumah,'' ia menyarankan.
Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi.
Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. ''Bagaimana kalau malam ini
kita makan di restoran?'' katanya. Istrinya tak keberatan. Makanan
istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya.
Benar
saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan
cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya
kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depannya tak disentuh.
Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima
''pengakuan dosa'' itu.
Pantas saja dia selalu beralasan capek,
malas, atau tak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam,
istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu
masih menampakkan sinyal --pertanda baru saja dipakai berhubungan dengan
seseorang. Itu pula, antara lain, yang melahirkan kebohongan demi
kebohongan.
Tanpa diduga, keterusterangan itu telah
mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan
sakit hati yang dalam. Atau, bahkan, lebih pahit dari itu. Hati pria ini
seakan menuntut: ''Kalau saja aku tak menuruti nasihatmu, tentu
masalahnya tak sepahit ini.''
Si penasehat yang dituding ''ikut
menjebloskan dalam duka'' meng-kick balik: ''Bukankah sudah saya
sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?''
Buat orang awam, restoran dan rumah sekadar tempat. Tidak lebih. Tapi,
di mata si penasehat, tempat membawa ''takdir'' tersendiri. Sesuai
arahan Kanjeng Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan sesuatunya tetap di
rumah.
Dari Amir bin al-Ahwash al-Jusyami ra., bahwasanya ia
mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu haji wada’ setelah memuji
dan menyanjung Allah, mengingatkan dan menasehati, “Ketahuilah, saling
menasihatilah kalian kepada para wanita dalam kebaikan, karena
sesungguhnya mereka adalah tawanan – tawanan (tanggungan) di sisi
kalian, kalian sama sekali tidak memiliki apapun dari mereka selain itu,
kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Maka jika
mereka melakukan itu, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Lalu jika mereka
taat kepada kalian, maka jangan kalian mencari – cari jalan untuk
menyusahkan mereka. Ketahuilah bahwa kalian memiliki hak atas istri
kalian, dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas
mereka adalah agar mereka tidak menginjakkan siapapun yang kalian tidak
suka ke tempat tidur kalian, dan tidak memberikan ijin masuk ke rumah
kalian siapapun orang yang tidak kalian suka. Dan ketahuilah hak mereka
atas kalian adalah kalian bersikap dan berlaku baik terhadap mereka di
dalam memberikan sandang dan pangan.” (Rowahu Ibnu Majah dan
at-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shohih)
Dari Muawiyah bin
Haidah, ia menuturkan, saya pernah berkata, ‘Ya Rasulullah apa hak istri
terhadap suaminya?’ Beliau SAW menjawab, “Engkau memberinya makan
ketika engkau makan, engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian,
jangan kamu memukul wajahnya, jangan pula menjelek – jelekannya, dan
jangan kamu mendiamkannya (hajr) kecuali tetap di rumah.” (Rowahu Abu
Dawud dan Ibnu Hibban).
Dan, itulah yang terjadi. Keterusterangan
itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan sejarah tersendiri. Maka,
jalan terbaik menyikapinya adalah, seperti dikatakan orang bijak,
''Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.''
Kayu
telah menjadi arang. Kita tak boleh melarikan diri dari kenyataan,
sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi, bisa jadi, merupakan
bagian dari perilaku kita jua. ''Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung
jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita
pula yang harus menyelesaikannya,'' kata orang bijak.
Pahit-getir,
manis-asam, asin-hambar, itu sebuah risiko. Memang, kiat hidup itu tak
lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan!
Oleh : Faizunal Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar