Tak ada yang lebih indah daripada kehidupan yang penuh dengan
kesyukuran. Rasanya semua orang menginginkannya. Berbagai usaha pun
dilakukan, mulai dari yang kecil berupa membina hati, kemudian hal yang
gampang dan ringan dengan ucapan atau yang berat dan besar dengan
tindakan – tindakan nyata. Sayangnya, tak banyak orang yang pada
akhirnya dapat merasakan predikat indah itu. Kesyukuran timbul tenggelam
di dalam samudera kehidupan ini. Silih berganti. Sebab jumlah nikmat
yang tak terhitung dan sifat lupa dan lalai manusia akan nikmat itu
sendiri. Alhasil, hidup berlimpah dengan rasa syukur menjadi barang yang
sulit ditemukan. Tak jarang, malah terlupakan.
Hal ini diperkuat dengan garis Allah di dalam Kitabnya, dimana Allah
menyebutkan bahwa kategori orang yang bisa bersyukur itu sedikit. Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (QS Saba’:13)
Konsekuensi dari hukum ini diantaranya adalah susahnya mencari
keteladanan dalam bersyukur. Di Quran misalnya hanya beberapa hamba yang
tertulis sebagai ahli syukur, Nabi Nuh misalnya seperti yang tertulis
di dalam surat al-Israa ayat 3, innahu kaana ‘abdan syakuuron -
sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.
Kemudian
Nabi Daud dan keluarganya, yang disebutkan di dalam surat Saba ayat 13,
i’maluu aalaa daawuuda syukron - bekerjalah wahai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah). Berkenaan dengan masalah syukur ini Nabi Dawud
pernah bertanya kepada Allah. “Bagaimana aku mampu bersyukur kepadaMu
ya Allah, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah pun
menjawab, “Sekarang engkau telah bersyukur kepadaKu, karena engkau
mengakui nikmat itu berasal dari-Ku”.
Berkaitan dengan masalah
ini Rasulullah SAW pun menegaskan dengan sabdanya; “Shalat yang paling
dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam,
kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang
paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari,
kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.(Rowahu
al-Bukhari, Muslim)
Juga Rasulullah SAW menjelaskan dengan
sabdanya; “Tidaklah seseorang itu makan makanan yang lebih baik kecuali
dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya Nabi Daud as
senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Rowahu
al-Bukhari)
Di dalam jalur riwayat lain, Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Tsabit Al-Bunani bahwa Nabi Daud membagi waktu shalat
kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada sedikit
waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka
sedang menjalankan shalat.
Tampilnya keluarga Nabi Dawud sebagai
teladan dalam bersyukur memang tepat dan contoh yang diberikan juga
gamblang. Bersyukur tidak hanya dengan hati, perkataan dan tindakan
sebagaimana yang dicontohkan Keluarga Nabi Daud. Lebih dari itu
bersyukur adalah dalam rangka mencari kecintaan - keridhoan dari Allah.
Demikian
juga apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam masalah ini.
Ketika turun Surat Fath ayat 1 yang menetapkan pengampunan kepada
Rasulullah SAW atas dosa yang terdahulu dan yang akan datang,
kesungguhan Rasulullah SAW dalam bersyukur semakin menjadi. Shalat
malamnya membuat kedua kaki beliau bengkak – bengkak, sehingga Aisyah
pun berkata, “Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah
menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu baik yang awal maupun yang
akhir?” Rasulullah menjawab, “Afalam akuunu abdan syakuron - Tidakkah
aku menjadi hamba yang bersyukur”. (Rowahu Al-Bukhari).
Dari tiga
teladan di atas, kita perlu menelusuri lebih lanjut jalan menjadi ahli
bersyukur. Walaupun tertulis sedikit kita berharap dan berusaha menjadi
bagian yang sedikit itu. Sebagai inspirasi cerita berikut layak
dicermati. Suatu saat Umar bin Khaththab pernah mendengar seseorang
berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”.
Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa
demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman,
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku
memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.”
Ada hal – hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan benih – benih kesyukuran agar terpatri di dalam hati. Yang pertama adalah benih hati “tidak merasa memiliki, tidak merasa dimiliki kecuali yakin segalanya milik Allah SWT.”
Allah berfirman; “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS al Baqoroh
155 – 156).
Sebab makin kita merasa memiliki sesuatu akan semakin
takut kehilangan. Dan takut kehilangan adalah suatu bentuk
kesengsaraan. Tapi kalau kita yakin semuanya milik Allah, maka ketika
diambil oleh Allah tidak layak kita merasa kehilangan. Karena kita hanya
tertitipi. Dalam kondisi seperti ini layak direnungi kaidah tukang
parkir. Setiap hari di area parkir berjajar mobil mewah dari Mercy, BMW,
Toyota, Mazda dan mobil bagus lainnya. Walau dari pagi sampai petang
mobil – mobil itu di bawah tanggung jawab si tukang parkir, tetapi
apakah dia bisa marah, sedih, ketika mobil – mobil tersebut diambil
pemiliknya kala sore hari? Tentu tidak. Bahkan dramawan WS Rendra
menulis dengan apik, hakikat harta sebagai titipan seperti dalam
puisinya Makna Sebuah Titipan.
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Rahasia benih kedua menjadi ahli syukur adalah “selalu memuji Allah dalam segala kondisi. "
Kenapa? Allah berfirman; “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-nahl 18).
Karena kalau dibandingkan antara nikmat dengan musibah tidak akan ada
apa-apanya. Musibah yang datang tidak sebanding dengan samudera nikmat
yang tiada bertepi.
Ini seperti cerita seorang petani miskin
yang kehilangan kuda satu-satunya. Orang-orang di desanya amat prihatin
terhadap kejadian itu, namun ia hanya istirja dan mengatakan,
alhamdulillah, cuma kuda yang hilang. Bukan lainnya. Seminggu kemudian
kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar.
Petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya
berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun ia hanya berkata,
alhamdulillah.
Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat
musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh
sehingga patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin, tapi sang
petani hanya mengatakan, alhamdulillah cuma patah kakinya. Ternyata
seminggu kemudian tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda
untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang
petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata
singkat, alhamdulillah. Allah telah mengatur segalanya.
Apa yang
harus membuat kita menderita? Adalah menderita karena kita tamak kepada
yang belum ada dan tidak mensyukuri apa yang ada sekarang.
Benih ketiga untuk menjadi ahli syukur adalah “manfaatkan nikmat yang ada untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara
rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah
kalian kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian
menyembah.” (QS Al-Baqoroh 172)
Alkisah ada tiga pengendara kuda
masuk ke dalam hutan belantara, kemudian dia tertidur. Saat terjaga
dilihat kudanya telah hilang beserta semua perbekalannya. Betapa
kagetnya mereka, karena alamat tidak bisa meneruskan perjalanan. Pada
saat yang sama dalam keadaan kaget tersebut, ternyata seorang raja yang
bijaksana melihatnya dan mengirimkan kuda yang baru lengkap dengan
perbekalan untuk perjalanan mereka. Ketika dikirimkan reaksi ketiga
pengendara yang hilang kudanya itu berbeda-beda.
Pengendara
pertama si-A kaget dan berkomentar; "Wah ini kuda yang hebat sekali,
bagus ototnya, lengkap perbekalannya dan banyak pula!” Dia sibuk dengan
kuda dan perbekalannya tanpa bertanya kuda siapakah ini? Pengendara
kedua Si-B, gembira dengan kuda yang ada dan berkomentar; "Wah ini kuda
yang hebat, dan saya benar – benar membutuhkannya. Terima kasih, terima
kasih.” Begitulah si-B bersyukur dan berterima kasih kepada yang
memberi. Sikap pengendara ke tiga, si-C beda lagi. Ia berkata; "Lho ini
bukan kuda saya, ini kuda milik siapa?” Yang ditanya menjawab; " Ini
kuda milik raja."
Si-C bertanya kembali; "Kenapa raja memberikan
kuda ini ?” Dijawab; "Sebab raja mengirim kuda agar engkau mudah bertemu
dengan sang raja". Dengan bersuka cita si-C menjawab; “Terima kasih
atas semuanya, sehingga saya bisa sampai ke sang raja.”
Dia gembira bukan karena bagusnya kuda, dia gembira karena kuda dapat memudahkan dia dekat dengan sang raja.
Begitulah,
si-A adalah gambaran manusia yang kalau mendapatkan mobil, motor,
rumah, dan kedudukan sibuk dengan semua itu, tanpa sadar bahwa itu
semua adalah titipan. Yang B mungkin adalah model orang kebanyakan yang
ketika senang mengucap Alhamdulillah. Tetapi ahli syukur yang asli
adalah yang ketiga yang kalau punya sesuatu dia berpikir bahwa inilah
kendaraan yang dapat menjadi pendekat kepada Allah SWT. Ketika mempunyai
uang dia mengucap alhamdulillah, uang inilah pendekat saya kepada
Allah. Ia tidak berat untuk membayar zakat, dia ringan untuk bersadaqah,
karena itulah jalan mendekatkan diri kepadaNya.
Benih syukur yang keempat adalah “berterima kasih kepada yang telah menjadi jalan perantara nikmat.”
Seorang anak disebut ahli syukur kalau dia tahu balas budi kepada ibu
dan bapaknya. Benar orang tua kita tidak seideal yang kita harapkan,
tetapi masalah kita bukan bagaimana sikap orang tua kepada kita, tetapi
sikap kita kepada orang tua. Sama halnya dengan nikmat lainnya, kadang
datangnya melalui perantara, maka yang terpenting adalah bagaimana kita
bisa bersikap yang baik kepadanya.
Diriwayatkan dari Usamah bin
Zaid r.a. dia berkata, “Rasululloh SAW bersabda; ’Barangsiapa diberi
suatu kebaikan, lalu dia berkata kepada pemberinya – Jazaakallohu
khairo/Semoga Allah membalas kebaikan (yang lebih baik) kepadamu – maka
dia telah sampai (sempurna) di dalam memuji.”(Rowahu at-Tirmidzi, dia
berkata hadist hasan ghorib)
Dari al-Asy’ats bin Qois r.a. dia
berkata, “Rasululoh SAW bersabda tidak bersyukur kepada Allah orang yang
tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (Rowahu Ahmad)
Dari
Abu Huroiroh r.a, dari Nabi SAW beliau bersabda,”Tidak bersyukur kepada
Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (Rowahu Abu Dawud dan
at- Tirmidzi dia berkata hadist shohih)
Sebagai pelengkap benih –
benih di atas, tentunya adalah memperbanyak doa untuk menyirami benih –
benih itu. Berdoa untuk menjadi hamba yang penuh kesyukuran, sebagaimana
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Muadz bin Jabal.
Hadist itu diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud (Kitabu Sholah) dan Sunan
Nasa’i (Kitabu as-Sahwi), juga terdapat dalam Musnad Ahmad, yang
dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dari Muadz bin Jabal r.a.
sesungguhnya Rasulullah SAW memegang tangannya Muadz dan berkata; ”Ya
Muadz, Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu, Demi Allah
sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.” Seterusnya Beliau berkata,
”Aku wasiat kepadamu hai Muadz, jangan meninggalkan sungguh engkau di
dalam setiap habis sholat untuk berdoa - Allohumma a’innaa ’alaa dzikrika, wasyukrika wahusni ’ibadatik - Ya Allah tolonglah kami untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu dan beribadah kepadaMu dengan baik”.
Setelah
menjadi orang iman, tantangan berikutnya yang menghadang adalah berpacu
untuk menjadi orang yang berkelimpahan kesyukuran. Walaupun
kesempatannya kecil, kita masih punya peluang meraihnya bukan? Nah,
sebagai parameter penutup bisa dirujuk cerita tentang seorang pengembala
yang ditanya oleh tuannya. “Bagaimana cuaca hari ini?” “Hari ini
cuacanya sangat menyenangkan”, jawabnya. ‘Apakah kamu tidak melihat
bahwa dari pagi mendung dan tak tampak matahari?” “Betul tuan, tetapi
kehidupan ini telah mengajarkan kepada saya bahwa banyak keinginan yang
tidak saya dapatkan, oleh karena itu saya mulai mensyukuri apa saja yang
saya dapatkan.”
Lalu, dimanakah kita sekarang?
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar